Sedih dan Gembira sebagai Ujian

Andai kita dihadapkan pada dua pilihan, antara sedih dan gembira, pasti semua orang akan memilih gembira, senang, dan seterusnya. Apakah itu mungkin? Dipastikan tidak akan terjadi. Bukankah dunia ini selalu ada dua kutub yang berbeda. Ia sebagai penyeimbang kehidupan.
Sekarang gembira, besuk ada sedih. Sekarang berduka, besuk tertawa. Begitulah sunnatullah. Dua hal yag selalu ada dan menyertai hidup kita.
Ayat Allah sendiri sudah menyampaikan, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,“. Bahkan Allah menyebutnya sampai dua kali dalam surat Alam Nasyrah. Secara tersirat justru Allah sendiri yang “menghendaki” bahwa antara kesedihan dan kesenangan ibarat mata uang yang tidak terpisahkan.
Namun, bagi orang beriman suka atau duka adalah bentuk ujian, dan semua diimaknai baik.
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali” (QS. Al-Anbiya: 35).
Ikrimah –rahimahullah– pernah mengatakan,
ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر
“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43).
Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman.
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ
“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman” (HR. Tirmidzi).
Hentikanlah ratapan dan sedih yang berlebihan. Yakinlah bahwa semua akan berakhir dengan baik. Allah tidak mendzolimi hamba-Nya.
Ditulis oleh Mohamad Su’ud