BADAL UMROH

Para ulama sepakat bahwa umrah hukumnya sunnah, sehingga tidak ada kewajiban bagi seseorang atau ahli waris untuk mengumrahkan orang tuanya yang sudah uzur atau meninggal dunia. Kecuali jika orang tuanya pernah bernadzar untuk melaksanakan umrah, maka anaknya (ahli warisnya) yang memiliki kemampuan harus menunaikan nadzar kedua orang tuanya. Hal tersebut didasarkan pada hadis-hadis di atas dan hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ [رواه البخاري و الجماعة]
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaknya ditaati (ditunaikan), dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah ia (tunaikan nadzarnya) untuk berbuat maksiat.” [HR. al-Bukhari dan jamaah ahli hadis]
- Waktu antara umrah ke umrah berikutnya dan hukum bagi jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Mekah?
Waktu pelaksanaan umrah tidak ditentukan secara khusus. Umrah dapat dilakukan kapan saja, baik pada musim haji maupun di luar asyhur al-hajj (bulan-bulan haji). Sehingga bagi orang yang memiliki kemampuan baik secara finansial, fisik maupun transportasi dapat melakukannya “kapan saja” dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lain baik kepada keluarga, kerabat maupun lingkungan sosialnya, sehingga ia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri namun juga orang lain. Jika ia sudah berkali-kali melaksanakan umrah dengan kemampuan materi yang dimilikinya, hendaknya ia mengajak atau memberikan kesempatan (bantuan) kepada orang lain untuk melaksanakannya, dan hal tersebut tidak akan mengurangi pahala dan kebaikan yang akan didapatkannya. Sedangkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan seputar pelaksanaan umrah terutama menjelang melaksanakan haji.
Sebelum menjawab substansi pertanyaan yang ketiga, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian umrah berkali-kali bagi jama’ah haji tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan umrah berkali-kali menjelang ibadah haji di sini adalah umrah yang dilaksanakan berkali-kali oleh jamaah haji setelah mereka melakukan umrah dalam melakukan haji tamattu’. Umrah ini dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji guna mengisi waktu senggang sebelum melaksanakan ibadah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah. Umrah seperti ini juga disebut dengan umrah Makkiyah, yakni umrah yang dilaksanakan oleh jamaah haji dari luar Makkah yang sedang berada di kota Makkah. Mereka keluar dari tanah haram seperti Tan’im dan Ji’ranah, lalu melakukan ihram untuk umrah dari tempat tersebut.
Jama’ah haji yang melakukan umrah dari Tan’im atau Ji’ranah tersebut berlandaskan pada adanya izin dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah untuk melakukan umrah dengan diantar oleh saudaranya yang bernama Abdurrahman bin Abi Bakar. Pada saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat akan meninggalkan Mekah menuju Madinah seusai melaksanakan ibadah haji. Saat itu ‘Aisyah gelisah karena pada waktu tiba di Mekah ia tidak dapat menyempurnakan umrahnya dengan thawaf, karena haid. Kegelisahan ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengatakan bahwa orang lain bisa melakukan ibadah haji dan umrah dengan sempurna, sedangkan ia hanya ibadah haji saja. Mendengar keluhan ‘Aisyah ini, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar mengantarkannya ke Tan’im melakukan ihram untuk umrah.
…قَالَتْ فَكُنْتُ أَنَا مِمَّنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَخَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا مَكَّةَ فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِي فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعِي عُمْرَتَكِ وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ قَالَتْ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ الْحَصْبَةِ وَقَدْ قَضَى اللهُ حَجَّنَا أَرْسَلَ مَعِي عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَأَرْدَفَنِي وَخَرَجَ بِي إِلَى التَّنْعِيمِ فَأَهْلَلْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَضَى اللهُ حَجَّنَا وَعُمْرَتَنَا وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ هَدْيٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَا صَوْمٌ [رواه مسلم]
Artinya: … (Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata: Aku sendiri termasuk orang yang berniat ihram untuk umrah dan kita semua meninggalkan Madinah sampai datang di Makkah. Pada saat datangnya hari atau waktu Arafah saya haid, sehingga saya tidak dapat tahallul untuk umrahku. Aku mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi bersabda: Tinggalkan umrahmu dan lepaskan rambutmu dan bersisirlah kemudian niatlah ihram untuk haji. Selanjutnya Aisyah berkata: Akupun mengerjakannya, dan setelah sampai malam Hasabah (sesudah hari tasyriq) dan setelah kami selesai ibadah haji, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar mengantarkan aku keluar ke Tan’im dan akupun ihram untuk umrah dan selesai. Maka Allah telah menentukan selesai haji dan umrah kami. Dalam hal ini tidak diperlukan membayar dam (menyembelih hewan), membayar sadaqah ataupun berpuasa. [HR. Muslim]
Berdasarkan hadis di atas, jelas bahwa umrah tersebut dilakukan sesudah selesai haji dan dalam rangka menyempurnakan umrah sebelumnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan tuntunan dan tidak menyuruh para sahabatnya untuk melakukan umrah berkali-kali dalam musim haji sebelum waktu wukuf di Arafah. Oleh karena itu, umrah seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Amalan-amalan yang dianjurkan kepada jamaah haji adalah tadarrus al-Quran, memperbanyak doa atau thawaf di Masjidil Haram. Adapun melaksanakan umrah sesudah selesai melaksanakan ibadah haji boleh saja dilakukan.
📖Sumber: Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 20, 2011