Adakah Aqiqah Bagi Janin Pasca Keguguran?

Pemberian nama dan akikah adalah amalan yang dilakukan ketika janin lahir dari rahim ibu dalam keadaan hidup (selamat). Semata-mata telah terjadi pembuahan pada fase al-nuthfah (bertemunya sel ovum dan sperma), yang berlanjut pada berkembangnya janin menuju fase alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), lalu dibungkus dengan tulang (izham) dan ditiupkan ruh (nafkh al-ruh) tidak menjadi penyebab orang tua dibebani syariah memberi nama dan melakukan akikah terhadap anak (janin) nya. Sehingga, meninggalnya janin karena abortus (pada fase apapun) menjadi penghalang (al-mani) bagi orangtua untuk dikenai syariah-syariah tersebut.

Dasar dari hal tersebut adalah hadis nabi Muhammad Saw. :

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى (رواه أبو داود و النسائ و أحمد و الترمذي وابن ماجه)

Artinya: “Dari Samrah bin Jundub bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: setiap bayi tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, (kepalanya) dicukur dan ia diberi nama” (HR. Abu Dawud, Nasai, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadis tersebut menunjukkan pentingnya akikah dan pemberian nama, sehingga dari hadis tersebut para ulama menghukumi akikah itu sendiri dengan sunnah muakkadah. Hadis tersebut menunjukkan pula bahwa waktu pelaksanaan akikah adalah hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Sehingga dengan logika mafhum mukhlafah dapat disimpulkan bahwa janin yang meninggal karena abortus (tidak mengalami hari ketujuh) tidak perlu diakikahi dan diberi nama.

Sisi lain (wajh al-istidlal) yang dapat dijadikan argumen dari hadis tersebut adalah penggunaan redaksi “ghulam”, yaituredaksi yang menunjukkan makna bayi yang lahir hidup-hidup. Dalam bahasa Arab, ghulam diartikan sebagai bayi, pemuda dan orang dewasa (Lisanul Arab: vol. XII, 440), bukan semata-mata janin dalam rahim ibu. Karena jika memang sebelum keluar dari rahim ibu si janin sudah menyebabkan orangtuanya dikenai syariat akikah dan pemberian nama, maka sudah barang tentu hadis tersebut semestinya menggunakan istilah lain yang lebih umum seperti al-maulud, al-janin dan atau al-shabiy. Dalam penelitian kami, dari 12 sunnah qauliyah yang menerangkan tentang akikah, 11 di antaranya menggunakan kata ghulam, dan hanya satu yang menggunakan redaksi al-maulud. Makna al-maulud lebih umum, mencakup bayi yang mati karena hasil abortus maupun bayi yang hidup.

عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَبِيَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ اْلمَوْلُوْدِ يَوْمَ سَابِعِهِ وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ وَالْعَقِّ (رواه الترمذي وقال حسن غريب)

Artinya: “Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi Saw. menyuruh untuk memberi nama bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh, membersihkan kotorannya dan mengakikahinya. (HR Tirmidzi, dengan komentar “ini adalah hadis hasan gharib”).

Kami menyimpulkan bahwa hadis yang menggunakan redaksi al-maulud di atas adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat atau perawi pada tingkatan lainnya secara bil makna yang melibatkan interpretasi pribadi mereka. Qarinah (indikasi) dari hal tersebut adalah ia menyalahi 11 redaksi hadis lainnya dan penggunaan kata amara (memerintahkan), bukan qala (bersabda) yangmenunjukkan kalimat langsung dan kepastian bahwa hadis tersebut benar-benar perkataan nabi. Dalam ilmu hadis disebutkan bahwa hadis yang menggunakan redaksi qala lebih tinggi derajatnya dari pada hadis yang menggunakan redaksi amara. Selain itu, kualitas hadis ini juga patut dipertanyakan, karena hanya mencapai derajat hasan

Kaedah al-baraah al-ashliyyah (hukum asal) juga bisa kita gunakan sebagai argumen penguat. Sepanjang tidak ada dalil spesifik (khas) yang memerintahkan akikah dan pemberian nama sebelum kelahiran bayi dalam keadaan selamat, maka hal tersebut tidak menjadi beban tersendiri bagi orang tua si bayi. Dalil lainnya adalah makna akikah itu sendiri. Seperti banyak disebutkan oleh para ulama, akikah disyariatkan Allah sebagai sarana untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya berupa kelahiran seorang anak (Ahkamu al-Aqiqah: vol. I, 8). Ketika menjelaskan tentang hikmah akikah, para ulama biasanya menghubungkannya dengan ayat al-Quran surat Ibrahim ayat 7. Makna syukur tersebut tentu tidak terdapat dalam kondisi orang yang anaknya meninggal karena abortus dan keguguran.

Berangkat dari jawaban kami di atas, maka janin yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tidak bernyawa atau telah meninggal terlebih dahulu, tanpa melihat berapapun usia dalam kandungan, tidaklah menyebabkan orangtuany dikenai kewajiban memberi nama dan akikah.

Sebagai penutup, kami menganjurkan, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh hadis Rasulullah Saw., agar ibu yang mengalami keguguran menerima musibah yang menimpanya dengan penuh kesabaran, karena kesabaran itu akan berbuah positif untuk dirinya kelak di hari akhir. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ السِّقْطَ لَيَجُرُّ أُمَّهُ بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ إِذَا احْتَسَبَتْهُ (رواه ابن ماجه و أخمد)

Artinya: “Sesungguhnya bayi yang keguguran akan membawa ibunya masuk surga dengan tali pusarnya jika ibunya menerimanya dengan sabar” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Sumber : Majalah Suara Muhammadiyah, No.8, 2010

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *