Kritikus Tanpa Aksi
Oleh : Redaksi Qolbu
Di Kampung Rawa Bebek, nama Pak Satrio lebih terkenal daripada Pak RT sendiri. Bukan karena ia donatur paling dermawan, bukan pula karena ia paling rajin ikut ronda. Pak Satrio terkenal karena lidahnya yang setajam silet dan “keahliannya” dalam segala hal—setidaknya, menurut dirinya sendiri.
Minggu pagi itu, matahari sudah mulai menyengat. Warga RT 05 sedang sibuk melaksanakan kerja bakti. Target hari ini: memperbaiki saluran air utama yang sering mampet dan menyebabkan banjir setiap kali hujan deras turun.
Pak Herman, Pak RT yang sabar, sedang memacul lumpur hitam yang pekat. Kang Dedi dan beberapa pemuda sedang mengangkut karung berisi pasir. Keringat bercucuran, baju mereka kotor oleh tanah.
Lalu, muncullah Pak Satrio.
Ia datang tidak membawa cangkul, tidak membawa sekop, apalagi karung. Ia datang dengan kemeja polo putih bersih yang disetrika licin, celana bahan, dan segelas kopi di tangan kanan. Ia berdiri di pinggir selokan, di tempat yang teduh di bawah pohon mangga, bak seorang mandor proyek miliaran rupiah.
“Waduh, Pak Herman,” seru Pak Satrio, suaranya lantang memecah suara denting cangkul. “Itu galiannya kurang dalam! Kalau cuma segitu, air kiriman dari RW sebelah pasti meluap lagi. Harusnya hitung debit airnya dulu, jangan asal pacul!”
Pak Herman menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. “Iya, Pak Satrio. Ini sedang didalamkan. Tapi tanahnya keras sekali di bagian bawah.”
Pak Satrio menyeruput kopinya dengan bunyi slurp yang nyaring. “Ah, itu karena teknik maculnya salah. Sudut kemiringan cangkul Bapak itu tidak ergonomis. Tenaga habis, hasil nihil. Coba lihat Kang Dedi itu, adukan semennya terlalu cair! Itu nanti fondasinya rapuh, sebulan juga ambrol.”
Kang Dedi yang sedang mengaduk semen berhenti sejenak, menahan napas. “Kalau begitu, campurannya yang pas gimana, Pak? Boleh tolong dicontohkan? Biar saya paham.”
Suasana hening sejenak. Semua mata tertuju pada Pak Satrio.
Pak Satrio tertawa kecil, tawa yang terdengar meremehkan. “Lho, Kang Dedi ini gimana? Saya ini kan memberikan visi. Tugas saya adalah konseptor. Kalau saya ikut ngaduk semen, nanti siapa yang mengawasi quality control-nya? Kita harus kerja cerdas, bukan cuma kerja keras.”
Ia kemudian menunjuk ke arah tumpukan batu bata. “Lagipula, itu penempatan batu batanya salah. Menghalangi jalan. Harusnya ditaruh dua meter ke kiri. Manajemen logistiknya berantakan sekali RT kita ini.”
Seorang pemuda bernama Tio, yang sedari tadi diam menahan geram, akhirnya angkat bicara. Tio berjalan mendekat sambil membawa sekop yang berat.
“Pak Satrio,” kata Tio sambil tersenyum tipis. “Kebetulan sekali Bapak ahli logistik. Kami kekurangan orang untuk memindahkan batu bata itu ke posisi yang ‘benar’ menurut Bapak. Mari Pak, kami butuh arahan langsung di lapangan. Bapak pimpin barisan angkut batu, ya?”
Wajah Pak Satrio berubah sedikit pucat. Ia mundur selangkah, menjauh dari Tio yang menyodorkan sarung tangan kerja yang kotor.
“Ehh… anu,” Pak Satrio memegang pinggangnya tiba-tiba. “Sebenarnya saya mau sekali bantu fisik, Dik Tio. Tapi ini… saraf kejepit saya kambuh kalau angkat berat sedikit saja. Dokter bilang saya hanya boleh melakukan aktivitas otak, tidak boleh aktivitas otot. Bahaya.”
“Kalau begitu bantu nyapu saja, Pak. Sapu lidi ringan, kok,” sahut Pak Herman dari dalam selokan.
“Aduh, debu!” Pak Satrio menutup hidungnya dengan sapu tangan. “Alergi saya parah, Pak RT. Kalau kena debu sedikit, bisa asma. Nanti kalau saya sakit, siapa yang kasih masukan untuk kemajuan kampung?”
Para warga saling berpandangan. Ada yang menggeleng, ada yang tersenyum kecut. Tanpa memedulikan Pak Satrio lagi, mereka kembali bekerja. Suara cangkul kembali beradu dengan tanah.
Pak Satrio merasa diabaikan. Ia mencoba berkomentar lagi. “Itu… saluran pembuangannya miring ke kiri!”
Tidak ada yang menjawab.
“Halo? Itu semennya mulai kering!”
Tetap hening. Hanya suara kerja keras yang terdengar.
Merasa panggungnya hilang, Pak Satrio akhirnya berdehem keras. “Ya sudah, saya mau pulang dulu. Mau bikin blueprint strategi keamanan lingkungan untuk rapat nanti malam. Sepertinya sistem ronda kita juga banyak cacatnya. Lanjutkan kerjanya, jangan asal-asalan!”
Pak Satrio melenggang pergi dengan kemeja putihnya yang masih suci tanpa noda sedikitpun.
Tiga jam kemudian, pekerjaan selesai. Saluran air mengalir lancar. Warga duduk berkumpul menikmati es teh manis dan gorengan. Lelah, tapi puas melihat hasil kerja nyata mereka.
Tiba-tiba, di grup WhatsApp warga, muncul pesan panjang dari Pak Satrio.
Pak Satrio: “Saya lihat selokannya sudah jadi. Tapi jujur saja, estetikanya kurang. Plesterannya kasar. Dan saya yakin, kalau hujan besar, itu tidak akan menampung. Sayang sekali masukan saya tadi tidak didengar. Kita lihat saja nanti.”
Pak Herman membaca pesan itu, lalu mematikan layar ponselnya sambil tersenyum. Ia menoleh ke Kang Dedi.
“Kang,” kata Pak Herman. “Tahu bedanya tong kosong sama tong berisi?”
“Tahu, Pak,” jawab Kang Dedi sambil mengunyah pisang goreng. “Tong berisi itu berat, susah digeser, tapi bermanfaat buat nyimpen air. Kalau tong kosong…”
“…Nyaring bunyinya, tapi isinya cuma angin,” sambung Tio.
Mereka tertawa lepas. Sore itu, mereka belajar bahwa satu gram tindakan nyata jauh lebih berharga daripada satu ton kritikan tanpa keringat.
Pesan Moral:
Kritik itu penting untuk perbaikan, tetapi kritik tanpa solusi dan kemauan untuk turun tangan hanyalah gangguan. Dunia lebih membutuhkan orang yang mau “kotor” demi perubahan, daripada mereka yang hanya berdiri bersih di pinggir lapangan sambil menunjuk
kesalahan. (***)

















